Geliat Perfilman Indonesia, Aroma Lokal Ramaikan Layar Lebar

Selasa, 11 Februari 2020 - 08:03 WIB
Geliat Perfilman Indonesia,...
Geliat Perfilman Indonesia, Aroma Lokal Ramaikan Layar Lebar
A A A
JAKARTA - Yowis Ben adalah film komedi remaja. Dibintangi seorang konten kreator YouTube populer Bayu Skak, film “berbahasa Jawa Timuran” ini sukses mencuri penonton film Indonesia pada 2018 lalu. Film layar lebar dengan rasa “lokal” produksi Starvision yang disutradarai Fajar Nugros ini ternyata sangat laris, bahkan telah ditonton oleh hampir 800.000 orang dalam 20 hari penayangannya.
Berlatar di Malang, Yowis Ben menjadi film yang sangat kental akan nuansa Jawa Timur. Apalagi, dialog yang digunakan pemain-pemainnya memakai bahasa keseharian mereka. Dengan tingkah laku konyol, film ini menceritakan sekelompokanak muda daerah yang ingin menggapai mimpinya menjadi grup musik terkenal Tanah Air.

Yowis Ben menjadi contoh film berbahasa daerah yang bisa sukses dan memikat penonton Indonesia. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, film-film berbahasa daerah mulai meramaikan perfilman nasional. Ada film Waung yang juga dialognya berbahasa Jawa. Film pendek karya Wregas Bhanuteja, sineas asal Yogyakarta, itu disambut cukup baik. “Saya menggunakan bahasa Jawa karena itu bahasa ibu saya. Saya merasa lebih luwes ketika membuatnya,” kata Wregas dalam sebuah diskusi, baru-baru ini. Bahasa Jawa digunakan Wregas karena film-filmnya tersebut berlatar di Yogyakarta.

Sementara itu, Fajar Nugros, sutradara film Yowis Ben, mengaku filmnya menjadi pembuktian bahwa komedi yang dituturkan dengan bahasa yang sangat dekat akan mudah diterima. “Pemainnya bisa lebih pol karena menggunakan bahasa seharihari. Film kami pun akhirnya bisa diterima masyarakat,” ungkapnya.

Menurut Fajar, film memiliki bahasa yang universal. “Melihat film Korea saja bisa nangis, padahal enggak ngerti omongannya. Nonton horor Thailand, kita bisa takut juga. Film itu universal,” tambahnya.

Lalu, bagaimana dengan film dari daerah lain, seperti Sumatra, Kalimantan, Papua, Bugis, dan lain sebagainya? Film Uang Panai adalah contoh terbaik. Film berbahasa BugisMakassar yang dirilis pada Agustus 2016 lalu laris, bahkan masuk box office lantaran meraup banyak penonton. Film berdurasi hampir dua jam yang disutradarai Halim Gani Safia dan Asril Sani itu diproduksi oleh Makkita Cinema Production dan telah dinikmati oleh lebih dari 600.000 penonton. Bahkan, film bergenre komedi ini mendapat special mention dalam perhelatan Piala Maya untuk kategori Film Daerah Terbaik dan masuk nominasi untuk kategori Penulisan Skenario Terbaik.

Uang Panai—atau yang dalam bahasa Indonesia berarti mahar—menceritakan sebuah tradisi lama yang kemudian menyulitkan pemuda-pemuda zaman sekarang untuk menikah. Akibatnya, ada semacam ketimpangan sosial gara-gara uang panai itu. Namun, karena dikemas dalam genre komedi dan tuturan bahasa sehari-hari masyarakat Bugis, film ini bisa dinikmati masyarakat sebagai tontonan menarik.

Penting Dimunculkan

Kebangkitan film-film lokal dari berbagai daerah ini dinilai penting agar masyarakat lebih memahami kebinekaan dan keberagaman yang ada di Indonesia. Sebenarnya, kemunculan film daerah ini sudah ada sejak lama. Banyak cerita dan budaya dari beberapa daerah yang telah diangkat oleh berbagai film layar lebar negeri ini meski hanya menggunakan dialek daerah, seperti film Si Doel yang sudah mengangkat budaya Betawi. Adapun film Kabayan yang sangat melekat dengan budaya Sunda atau film Nagabonar dari Sumatra Utara.

Menurut pengamat film Indonesia Yan Wijaya, film daerah sebenarnya sudah muncul sejak lama. Bukan terjadi baru-baru ini saja. Definisi film daerah adalah film-film yang dibuat oleh sineas-sineas daerah atau lokal. “Tema boleh beragam, tentang daerah tersebut atau tidak, tetapi para pembuat dan pemainnya harus lebih banyak dari orang-orang dari daerah itu sendiri,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Sebut saja film Kabayan yang sudah muncul sejak dua dekade lalu. Film tersebut dibuat oleh rumah produksi Kharisma Jabar Film milik Chand Parwez Servia. Kini, Kharisma berubah nama dan populer dengan sebutan Starvision. Film Kabayan pun dibuat hingga empat judul berikutnya. Sukses film Kabayan, kemudian film-film daerah seolah menghilang kembali. Baru pada 2014, dipelopori oleh sekelompok anak muda dari Makassar, Sulawesi Selatan, muncul film Bombe. Film karya sutradara Syahrir Arsad Dini alias Rere Art2tonic berhasil tayang di bioskop meski di lingkup Kota Makassar saja. Namun, masyarakat kota itu sangat antusias. Bombe yang menggunakan bahasa Bugis sukses luar biasa.

Dinilai berhasil, Bombe pun dibuat sekuelnya. Ada Bombe Dua: Dumba-Dumba (2016). Selain itu, Rere juga membuat dua film daerah lainnya, yakni Sumiati dan Silariang serta Menggapai Keabadian Cinta. Film yang terakhir menyedot hampir 200.000 penonton. Ada juga film Datu Museng. Film kolosal berbahasa Bugis-Makassar ini mengisahkan seorang pahlawan daerah yang gugur dalam perang melawan penjajah Belanda.

Menurut data, sebenarnya ada banyak film daerah yang mulai bermunculan. Setidaknya, ada lima film besutan sineassineas lokal dari Pontianak. Salah satu di antaranya adalah Pemuda Kota Naga yang menggunakan bahasa Cina-Singkawang. Ada pula film dari Manado seperti Senjakala di Manado. Di Banten, telah diproduksi film berjudul Jawara yang hanya tayang di bioskop di Cilegon. Dari Sumatra Barat, ada film Surau dan Silek yang berbahasa Minangkabau.

Di Pulau Jawa, Yogyakarta yang paling kreatif. Banyak film daerah yang disumbang para sineas asal provinsi ini. Meskipun tidak banyak masuk di bioskop arus utama, penayangan film-film daerah asal Yogyakarta ini dinikmati di lingkup terbatas. Sebut saja seperti film pendek Waung atau Prenjak (2016) karya Wregas. Bahkan, Prenjak berhasil meraih penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes 2016.

Biasanya, film daerah dibuat dengan bujet yang tidak terlalu besar. Namun, jika film itu diminati banyak penonton, modalnya dengan mudah balik kembali. Walaupun hanya tayang di satu bioskop, jika penontonnya banyak, itu sudah bisa dibilang sukses. (Widaningsih)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1112 seconds (0.1#10.140)